You are currently viewing Heytman : Advokat Bukan Alat Negara tapi Penegak Keadilan

Heytman : Advokat Bukan Alat Negara tapi Penegak Keadilan

Sejak awal Heytman Jansen sangat mencintai dunia hukum. Namun tak pernah terbersit dirinya akan menjadi advokat. Saat itu ia hanya ingin menjadi jaksa. Tapi tekad “membela” ternyata lebih kuat daripada “menuntut”, sehingga ia akhirnya memutuskan pilihan berkarir menjadi Advokat.

Hingga saat ini, Sekjen Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini sangat menikmati kesibukannya menjadi seorang advokat sekaligus pemimpin organisasi KAI meski ia memang harus pandai-pandai membagi waktu agar semuanya berjalan efektif dan efisien. Termasuk harus pintar memberi “quality time” bagi keluarga tercinta.

“Kita bertanggung jawab aja dengan apa yang kita lakukan. Mengoptimalkan waktu yang ada untuk mengerjakan segala pekerjaan dengan cepat dan tepat,” ujar Heytman ketika ditanyakan tentang prinsipnya dalam bekerja.

Baginya tokoh advokat Adnan Buyung Nasution merupakan tokoh yang sangat menginspirasi dalam bekerja. Adnan adalah sosok yang memberikan hidup untuk berjuang dalam mencari keadilan demi kepentingan masyarakat. “Awalnya beliau seorang jaksa, mungkin dia tidak terlalu tertarik untuk menjadi seorang penuntut, lebih tertarik menjadi pembela. Akhirnya beliau menjadi seorang advokat. Beliau melakukan perlindungan hukum dari masa ke masa sampai akhir hidupnya terutama melalui LBH yang beliau bentuk,” kenang Heytman.

Selain itu, salah satu masalah yang terjadi di tubuh advokat diantaranya masih belum terbentuknya

Dewan Kehormatan Nasional yang akan menaungi seluruh organisasi advokat yang saat ini sudah terpecah- pecah. Bila Dewan Kehormatan ini terbentuk, Heytman yakin advokat bermasalah yang berpindah-pindah dari satu organisasi satu ke organisasi lainnya bisa terpecahkan.

Lalu apa pandangan Heytman terhadap profesi advokat? Persepsi yang berkembang selama ini, tugas advokat hanya mendampingi kliennya semata. Namun menurut Heytman, persepsi ini muncul tanpa memahami bahwa sebagian hak-hak dasar tersebut dimiliki advokat justru karena keberadaannya sebagai bagian dari sistem hukum dan peradilan yang harus diakui secara tegas. Termasuk juga peran advokat dalam memberi pencerahan hukum kepada masyarakat. “Jadi sejak awal advokat harus berdampingan dengan masyarakat, bukan hanya karena ada kasus, barulah masyarakat mengenal advokat,” ujar Heytman.

Selain itu, salah satu masalah yang terjadi di tubuh advokat diantaranya masih belum terbentuknya Dewan Kehormatan Nasional yang akan menaungi seluruh organisasi advokat yang saat ini sudah terpecah-pecah. Bila Dewan Kehormatan ini terbentuk, Heytman yakin advokat bermasalah yang berpindah- pindah dari satu organisasi satu ke organisasi lainnya bisa terpecahkan. Seorang advokat bermasalah bisa diberi sanksi dan tidak boleh lagi berpindah ke organisasi advokat lain. la menjelaskan selama ini organisasi advokat masih melaksanakan dua kali sidang etik, yaitu di tingkat DPD dan DPP. Namun belum ada tingkat kasasinya.

Dengan adanya DKN tempat berkumpulnya semua organisasi, maka bila ada putusan di tingkat DKN, seluruh organisasi advokat akan berkomitmen mematuhi putusan di DKN. Dan selain mengikat semua organisasi advokat, lembaga ini juga bisa memberikan informasi dan tembusan tindakan putusan kepada lembaga-lembaga peradilan bilamana ada seorang advokat yang sudah diberhentikan secara permanen.

Pembentukan Dewan Kehormatan ini menjadi solusi paling efektif untuk menaungi berbagai organisasi advokat yang secara situasional menganut sistem multi bar. “Historis menyatakan, kita bukan tidak pernah melahirkan Single Bar, tapi kenyataannya tidak bertahan, kembali lagi Multi Bar. Karena itu perlu ada DKN yang menjadi lembaga kode etik bersama dan juga menjadi lembaga standarisasi menyangkut soal dan modul untuk dijadikan standar pendidikan,” ujar Heytman.

la mengungkapkan bahwa sebuah organisasi advokat harus memiliki standar kualitas dalam menyelenggarakan pendidikan dan melakukan ujian pengangkatan, tidak boleh hanya sekedar ada. la mencontohkan bagaimana organisasi KAI selalu mengutamakan kualitas pembicara dalam memberikan materi pendidikan. Bobot para pemateri haruslah seorang praktisi senior ataupun akademisi profesional yang memiliki jam terbang tinggi, dan itu semua membutuhkan honor yang tidak sedikit. Belum lagi biaya tempat, akomodasi, konsumsi selama 3-4 hari dengan 14-18 materi. Semua itu pasti membutuhkan biaya besar. Namun ia heran ketika melihat banyak organisasi advokat lainnya menetapkan biaya pendidikan hanya sekitar 1-2 juta saja, tentu itu tidak masuk akal dan dipertanyakan kualitas para pematerinya. Hal-hal ini seperti inilah yang menurut Heytman perlu distandarisasi, apakah setiap organisasi advokat sudah memberikan rekrutmen advokat yang berkualitas atau hanya sekedar formalitas belaka. Maka itu perlu ada Dewan Kehormatan untuk mengatur hal-hal seperti ini.

Namun di sisi lain, Heytman mengatakan memang sebuah organisasi advokat juga tidak bisa menjamin apakah nantinya semua para anggotanya pasti akan menjadi advokat profesional yang berintegritas dan kompeten. Bahkan kampus dengan grade tinggi dan nilai IPK tinggi juga tidak menjamin hal itu. Semua sebenarnya kembali kepada masing-masing pribadi advokat itu sendiri. Bahkan menurut Heytman, gelar Magister atau S-2 juga tidak bisa menjamin apakah advokat itu akan menjadi seorang yang kompeten. Tapi lebih kepada usaha advokat itu sendiri untuk
mengikuti berbagai pelatihan dan meng-upgrade keilmuannya untuk dipraktekkan di dunia nyata.

Namun organisasi advokat berperan untuk “merefresh” para calon advokat tentang hukum acara dan hukum terapan. Jadi tidak hanya pada hukum teori yang banyak didapatkan para mahasiswa dari kampus. Dan selanjutnya, peran organisasi advokat untuk membina, mengawasi dan membentuk para advokat itu.

KAI sendiri menerapkan sistem “tendem” senior bagi para advokat yang masih pemula dalam ber-acara. “Para advokat ini tidak boleh berupaya sendiri untuk ber-acara namun harus berada di bawah pengawasan atau di”tendem” oleh seorang senior, karena praktik peradilan banyak yang tidak diajarkan di bangku kuliah. Mereka harus terlebih dulu tahu bagaimana membuat kronologis dan kontruksi peristiwa dan kemudian mencari solusi,” ujar Heytman. “DPD kami biasanya membentuk beberapa pengacara-pengacara senior yang akan ditunjuk untuk mementor. Dan kalau memungkinkan tidak ada permasalahan waktu, dan memungkinkan juga untuk langsung ditangani senior, maka dia akan hadir, dan perkara itu ditendem oleh seniornya,” tambah Heytman.

Mengenai kondisi penegak hukum secara umum, Heytman melihat masih banyak PR yang harus diselesaikan. Khususnya tentang seringnya persinggungan yang terjadi antara advokat dengan penegak hukum lainnya. Sebenarnya itu semua kembali pada moralitas dan mentalitas para penegak hukum itu sendiri. Heytman berharap agar para penegak hukum seperti hakim, jaksa dan polisi benar-benar memahami tugas dan kewenangan para advokat. Dan sebaliknya, para advokat juga harus memahami tugas dan kewenangan para penegak hukum lainnya termasuk kewenangannya sendiri.

Mengenai kondisi penegak hukum secara umum, Heytman melihat masih banyak PR yang harus diselesaikan. Khususnya tentang seringnya persinggungan yang terjadi antara advokat dengan penegak hukum lainnya. Sebenarnya itu semua kembali pada moralitas dan mentalitas para penegak hukum itu sendiri.

la juga berharap agar Undang- undang Advokat segera direvisi. Namun yang direvisi bukan hanya pembahasan organisasi advokat yang Single Bar atau Multi Bar, tapi harus memperjelas hak dan kewajiban seorang advokat dalam menegakkan hukum. “Sekarang kan tidak begitu maksimal apa yang menjadi kewenangan advokat, tidak maksimal diatur dalam undang-undang tersebut. Kalau kita melihat undang-undang advokat di negara lain, ada banyak kewenangan-kewenangan seorang advokat dalam beracara dan di luar beracara,” jelas Heytman.

Beberapa yang perlu direvisi misalnya hak untuk mendapatkan informasi dan data, melakukan pembuktian kebenaran dan membutuhkan bukti-bukti data lawan. “Seharusnya bukti penggugat serahkan ke tergugat dan sebaliknya,” ujar Heytman.

la berharap agar generasi muda yang ingin menjadi advokat harus benar-benar menyadari bahwa bekerja sebagai advokat bukan hanya untuk mencari uang, tapi harus memiliki nilai-nilai ideal untuk mencari keadilan bagi klien yang dibelanya. la menyayangkan para advokat yang bersifat “hedon” dan berperilaku layaknya artis atau aktor. “Integritas sangat penting untuk dimiliki para advokat. Dia bukan alat negara, tapi dia penegak keadilan. Sehingga perlu moral, etika, komitmen, tanggung jawab, dan kepedulian pada bentuk ketidakbenaran,” tutup Heytman mengakhiri wawancara.
(Usman, Debora)

Tinggalkan Balasan